Purgatori Untuk Sebuah Kota
Image Source
sengaja aku tulis cerita ini
sebagai kesaksian atas sebuah puing kota yang kosong
yang ditinggal orang-orangnya
seusai membunuh bulan
sedang matahari katanya tak akan lagi datang di sana
hingga kini tak tahu mereka kemana
hingga kini tak terduga mereka di mana
(ini adalah prasasti yang tak diketahui siapa penulisnya.
prasasti ini juga adalah kesaksian satu-satunya,
yang menjelaskan peristiwa yang terjadi di kota itu)
matahari yang katanya dulu perkasa tak lagi mampu halangi
bulan yang pernah romantik semakin dekati bumi
bahkan bersamanya siang pun telah bersekutu
agar di kota ini tabrakan besar itu harus terjadi
malam yang batal memuntahkan dari tiap pintu rumah
wanita-wanita yang masih berbaju tidur dengan masker di wajah
laki-laki bercelana pendek
dan bersarung kedodoran dengan tangan-tangan di pinggang
anak laki-laki yang menggenggam mobil-mobilan
sia-sia menggapai kantuk yang sudah melarikan diri
dan perempuan-perempuan kecil yang menyeret boneka kelincinya
menggantung di lengan ibunya
orang-orang lalu turun ke jalan
penuhi jalan ke pusat kota
tempat patung perunggu pahlawan di tengah air mancur
yang telah lama duduk di atas kuda dengan surai terkibar
karena layaknya perang masih terus berlangsung
Image Source
orang-orang sepakat:
bulan berkhianat!
bulan berkhianat!
siang jadi pelacur!
siang jadi pelacur!
mengapa bumi begitu pengecut!
mengapa bumi begitu rela jadi pengecut!
kemarahan mungkin tak lagi memerlukan alasan
karena alasan sendiri telah jadi tempat yang paling munafik
agar lepas dari situasi sulit yang menjebak di pojok kesalahan
sedang langit
hanyalah pernah jadi tempat bisu menggantungkan cita-cita
yang ditulis orang-orang gila
ketika bumi dianggap tak cukup lagi jalankan semua rencana
orang-orang turun ke jalan dengan menggenggam senjata
- pistol, pisau, batu, panah, parang, pedang, keris
lalu dipukulkan sambil mendesak-desakkan kutukan
atau sedikitnya ludah-ludah basi tergumpal
yang disemburkan agar lengkap semua kejijikan
bulan lalu menjerit sebelum pecah
tanpa sempat berlari ke lubang hitam
tercabik-cabik sebagai hamburan kembang api
yang percikannya pun bikin malam yang gugup jadi terbakar
di ufuk kokok ayam urung rekahkan fajar
tertimpa kepalanya oleh seorang bocah dengan sepotong besi
rencana siang jadi keripik kentang yang dikunyah anak-anak
saat malam telah miring
kota itu tinggal sepotong
seperti juga sepotong lainnya
adalah jumlah orang-orang itu yang telanjang
sepotong di situ
tak ada lagi yang ingat untuk membereskan pakaiannya
orang-orang renta yang tak mampu berjalan
menyeret kaki dengan napas tersengal
mengacung-acungkan tongkatnya
berteriak parau: ‘kan, sudah aku bilang dulu!
- rasakan kini!
(ada lelaki tua duduk
lalu mengambil dari lepitan kopiah
surat dari ibunya yang telah menguning
yang meminta agar ia mengirimkan tinta dan kanvas
ladang mereka akan panen untuk terakhir kalinya
- itu harus dipotret! itu harus dilukis!
sebagai kenangan kepada orang-orang yang tak mau lagi
berkata jujur kepada lumpur, rumput dan sungai)
mungkin orang-orang telah bosan mendengar
ketika seseorang berbicara tak ada yang mau peduli
ketika seseorang mau berbicara tak ada yang peduli
karena memang tak lagi ada suara yang terdengar
maka bayi menangis bisu
maka anak-anak memekik diam
maka orang-orang berteriak sunyi
maka wanita-wanita menjerit sepi
angin menggoyang spotlight cahaya lampu
yang menembak berhala beku di tengah air mancur
lelaki yang duduk di atas kuda dengan surai terkibar
mengangkat pedangnya dan berteriak:
- ke sana!
ia bergerak seperti akan memimpin
tak seorang pun tapi ada yang peduli
karena apa lagi yang harus diharapkan
dari pahlawan yang terkurung perunggu seperti dia
orang-orang sendiri telah mencoba untuk memimpin
tarik-menarik tangan yang lainnya dan berteriak: - ke sana!
(seorang wanita berpiyama merah
dengan tiga empat buah rol pengeriting di rambutnya
berjalan membungkuk
karena ingat bapaknya
ia lalu mengumpulkan tanah
dan membentuknya jadi sebatang pohon
yang kemudian dibentak memaksanya bernyanyi
- itu harus dimonumenkan! itu harus diingat dalam lagu!
sebagai kenangan kepada orang-orang yang tak mau lagi
berkata jujur kepada lumpur, rumput dan sungai)
Image Source
sebelum subuh
kota itu telah hampir terpanggang habis
tapi orang-orang tak ada yang menangis
tak ada yang tertawa
mereka hanya berbaris
lalu berjalan ke ujung kota
entah akan kemana
entah kemana
kepahiang, 13 september 2008
Ada perasaan tercekam selepas membaca puisi ini. Takut, bingung, dan entah perasaan seperti apa lagi.
Suka. Suka sekali. Aku ikut hanyut dalam diksi-diksinya.
Terima kasih apresiasinya @nenovivianty
Terima kasih apresiasinya @nenovivianty
wuih hampir sesak kehabisan napas membaca puisi Bang @emong
Ayo siapkan pernapan buatan, teh :D
hahaaa.....